Minggu, 21 November 2010

Kisah cinta dalam dompet

Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin, kakiku
tersandung sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan
pemiliknya. Aku memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku bisa
menghubungi pemiliknya. Tapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga
Dollar dan selembar surat kusut yang sepertinya sudah bertahun-tahun
tersimpan di dalamnya.

Satu-satunya yang tertera pada amplop surat itu adalah alamat si pengirim.
Aku membuka isinya sambil berharap bisa menemukan petunjuk. Lalu aku baca
tahun "1924". Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu.
Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas kertas biru
lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut kirinya. Tertulis di sana,
"Sayangku John", yang menunjukkan kepada siapa surat itu ditulis yang
ternyata bernama Michael. Penulis surat itu menyatakan bahwa ia tidak bisa
bertemu denganmu lagi karena ibu telah melarangnya. Tapi, meski begitu ia
masih tetap mencintaimu. Surat itu ditanda tangani oleh Hannah.

Surat itu begitu indah. Tetapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa
nama pemilik dompet itu. Mungkin bila aku menelepon bagian penerangan ,
mereka bisa memberitahu nomor telepon alamat yang ada pada amplop itu.

"Operator," kataku pada bagian penerangan, "Saya mempunyai permintaan yang
agak tidak biasa. Saya sedang berusaha mencari tahu pemilik dompet yang saya
temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor
telepon atas alamat yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet
tersebut ?" Operator itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya,
yang tampaknya tidak begitu suka dengan pekerjaan tambahan ini.

Kemudian ia berkata, "Kami mempunyai nomor telepon alamat tersebut, namun
kami tidak bisa memberitahukannya pada anda." Demi kesopanan, katanya, ia
akan menghubungi nomor tersebut, menjelaskan apa yang saya temukan dan
menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku menunggu
beberapa menit. Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, "Ada orang yang
ingin berbicara dengan anda." Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di
ujung telepon sana, apakah ia mengetahui seseorang bernama Hannah. Ia
menarik nafas, "Oh, kami membeli rumah ini dari keluarga yang memiliki anak
perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang lalu !"

"Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang ?" tanyaku. "Yang aku
ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo beberapa tahun
lalu," kata wanita itu. "Mungkin, bila anda menghubunginya mereka bisa
mencari tahu dimana anak mereka, Hannah, berada."

Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. Ketika aku menelepon ke sana,
mereka mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud sudah lama
meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah dimana anak
wanita itu tinggal. 

Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor yang mereka berikan.
Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita mengatakan bahwa Hannah
sekarang tinggal di sebuah panti jompo. "Semua ini tampaknya konyol," kataku
pada diriku sendiri. Mengapa pula aku mau repot-repot menemukan pemilik
dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang ditulis lebih dari 60
tahun yang lalu ? Tapi, bagaimana pun aku menelepon panti jompo tempat
Hannah sekarang berada. Seorang pria yang menerima teleponku mengatakan,
"Ya, Hannah memang tinggal bersama kami." Meski waktu itu sudah menunjukkan
pukul 10 malam, aku meminta agar bisa menemui Hannah.

"Ok," kata pria itu agak bersungut-sungut,

"Bila anda mau, mungkin ia sekarang sedang menonton TV di ruang tengah." Aku
mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut.
Gedung panti jompo itu sangat besar. Penjaga dan perawat yang berdinas malam
menyambutku di pintu. Lalu, kami naik ke lantai tiga. Di ruang tengah,
perawat itu memperkenalkan aku dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut
ubannya keperak-perakan, senyumnya hangat dan matanya bersinar-sinar.

Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku temukan. Aku pun
menunjukkan padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia melihat amplop surat
berwarna biru lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik
nafas dalam-dalam dan berkata, "Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang
terakhir dengan Michael." Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam.
Katanya dengan lembut, "Aku amat-amat mencintainya. Saat itu aku baru
berusia 16 tahun, dan ibuku menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, ia
sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si aktor itu."

"Ya," lanjutnya. "Michael Goldstein adalah pria yang luar biasa. Bila kau
bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu memikirkannya, Dan ...," Ia ragu
untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata, "Katakan, aku masih
mencintainya. Tahukah kau, anak muda," katanya sambil tersenyum. Kini air
matanya mengalir, "Aku tidak pernah menikah selama ini. Aku pikir, tak ada
seorang pun yang bisa menyamai Michael."

Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat tinggal. Aku
menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di
sana menyapa, "Apakah wanita tua itu bisa membantu anda ?" Aku sampaikan
bahwa Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, "Aku hanya mendapatkan nama
belakang pemilik dompet ini. Aku pikir, aku biarkan sajalah dompet ini untuk
sejenak. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh hariku untuk menemukan
pemilik dompet ini."

Aku keluarkan dompet itu, dompet kulit dengan benang merah di sisi-sisinya.
Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, "Hei, tunggu dulu. Itu adalah
dompet Pak Goldstein ! Aku tahu persis dompet dengan benang merah terang
itu. Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku sendiri pernah menemukan dompet
itu tiga kali di dalam gedung ini." "Siapakah Pak Goldstein itu ?" tanyaku.
Tanganku mulai gemetar. "Ia adalah penghuni lama gedung ini. Ia tinggal di
lantai delapan. Aku tahu pasti, itu adalah dompet Mike Goldstein. Ia pasti
menjatuhkannya ketika sedang berjalan-jalan di luar."

Aku berterima kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor perawat. Aku
ceritakan pada perawat di sana apa yang telah dikatakan oleh si penjaga.
Lalu, kami kembali ke tangga dan bergegas ke lantai delapan. Aku berharap
Pak Goldstein masih belum tertidur. Ketika sampai di lantai delapan, perawat
berkata, "Aku pikir ia masih berada di ruang tengah. Ia suka membaca di
malam hari. Ia adalah pak tua yang menyenangkan. "

Kami menuju ke satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Di sana
duduklah seorang pria membaca buku. Perawat mendekati pria itu dan
menanyakan apakah ia telah kehilangan dompet. Pak Goldstein memandang dengan
terkejut. Ia lalu meraba saku belakangnya dan berkata, "Oh ya, dompetku
hilang !" Perawat itu berkata, "Tuan muda yang baik ini telah menemukan
sebuah dompet. Mungkin dompet anda ?"

Aku menyerahkan dompet itu pada Pak Goldstein. Ia tersenyum gembira.
Katanya, "Ya, ini dompetku ! Pasti terjatuh tadi sore. Aku akan memberimu
hadiah." "Ah tak usah," kataku. "Tapi aku harus menceritakan sesuatu pada
anda. Aku telah membaca surat yang ada di dalam dompet itu dengan harap aku
mengetahui siapakah pemilik dompet ini." Senyumnya langsung menghilang.
"Kamu membaca surat ini ?" "Bukan hanya membaca, aku kira aku tahu dimana
Hannah sekarang." 

Wajahnya tiba-tiba pucat. "Hannah ? Kau tahu dimana ia sekarang ? Bagaimana
kabarnya ? Apakah ia masih secantik dulu ? Katakan, katakan padaku," ia
memohon. "Ia baik-baik saja, dan masih tetap secantik seperti saat anda
mengenalnya, " kataku lembut. Lelaki tua itu tersenyum dan meminta, "Maukah
anda mengatakan padaku dimana ia sekarang ? Aku akan meneleponnya esok." Ia
menggenggam tanganku, "Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan
saat surat itu datang, hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah menikah,
aku selalu mencintainya. " "Michael," kataku, "Ayo ikuti aku."

Lalu kami menuruni tangga ke lantai tiga. Lorong-lorong gedung itu sudah
gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan kami menuju
ruang tengah di mana Hannah masih duduk sendiri menonton TV. Perawat
mendekatinya perlahan. "Hannah," kata perawat itu lembut. Ia menunjuk ke
arah Michael yang sedang berdiri di sampingku di pintu masuk. "Apakah anda
tahu pria ini ?" Hannah membetulkan kacamatanya, melihat sejenak, dan
terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun. Michael berkata pelan,
hampir-hampir berbisik, "Hannah, ini aku, Michael. Apakah kau masih ingat
padaku ?" Hannah gemetar, "Michael ! Aku tak percaya. Michael ! Kau !
Michaelku !" Michael berjalan perlahan ke arah Hannah. Mereka lalu
berpelukan. Perawat dan aku meninggalkan mereka dengan air mata menitik di
wajah kami.

"Lihatlah," kataku. "Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia
berkehendak, maka jadilah." Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor aku
mendapat telepon dari rumah panti jompo itu. "Apakah anda berkenan untuk
hadir di sebuah pesta perkawinan di hari Minggu mendatang ? Michael dan
Hannah akan menikah !" Dan pernikahan itu, pernikahan yang indah. Semua
orang di panti jompo itu mengenakan pakaian terbaik mereka untuk ikut
merayakan pesta. Hannah mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik.
Sedangkan Michael mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan
aku sebagai wali mereka.

Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka. Dan bila anda ingin
melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79 tahun bertingkah
seperti anak remaja, anda harus melihat pernikahan pasangan ini. Akhir yang
sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak pernah padam selama 69 tahun.
sumber http://www.mail-archive.com/idakrisnashow@yahoogroups.com/msg18958.html

0 komentar:

Posting Komentar

Mari kita saling menghargai sesama Blogger
Apabila anda merasa artikel ini bermanfaat, silahkan share dimana saja
Dan jika berkenan mohon mencantumkan link sumbernya. Terima Kasih

Ajisu18.blogspot.com

^_^

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Top WordPress Themes